Jumat, 04 September 2009

SAMPAI SUATU HARI

Mungkin tak semudah yang disangka. Memetik gemintang dengan sepasang tangan yang hampir melepuh sebab matahari membakarnya dalam sepi yang tertawan diam. Memang tak perlu ada wasangka bergelantungan memenuhi rongga dada dan kepala. Yang cuma akan membuat nadi semakin kencang berlari. Sesantunnya saja berdiam tanpa banyak cakap. Hanya ada hati yang tak henti memanggilnya. Sampai di suatu hari yang langitnya merona jingga dia datang membawa bintang jatahmu, tanpa kau duga. Disimpannya dalam bilik hatimu sampai tak tau lagi bagaimana menjadikan dia jauh darimu.
Tersenyum dan ikhlaslah mulai saat ini. Karena dia sangat menyayangimu tanpa kau rasa.

WAHAI JIWA YANG TENANG

Wahai jiwa yang tenang,
Apalah artinya jika nestapa terus didendang
Tuhan tak pernah lelap meski jiwa ini masih bertanya-tanya
Hingga pada saat yang tepat Dia telah mengukirkan sebuah cinta yang mesti dipahat dan dihias mewangi tanpa duka
Waktu yang belum termiliki yang harus disibak setiap saat
Mengurai kusutnya
Menjajarkan sudutnya
Sampai saatnya tersenyum sebersit bulan sabit
Meski mimpi itu masih tertahan di padang tandus tanpa rupa

Wahai jiwa yang tenang, di manakah engkau?

K E L U

Ini hati telah beku karena waktu
Menilik kisah masa lalu
adalah perundian nasib yang tergilas angan
sedang pilihan cuma satu
tanpa ada yang lain

Ini hati semakin kelu
mengelabui jiwa sendiri
agar tak terhantui sesal dan tanya

Mengapa tak ada lagi pilihan ?

Semua tak lebih dari sekedar tambal sulam.

Sebenar hati tak hendak keluh tapi mengapakah terlanjur beku?

SEMEMEK, 03 JULI 09